Hologram

cokecaine
6 min readApr 23, 2024

--

“Seharusnya aku ada di sana.”

“Sejujurnya, aku memang ada di sana. Tanpa tahu apapun.”

TW // mention of suicide.

[Recoding; on.]

Bagaimana aku mendeskripsikannya?

Aku bisa melihatmu saat ini. Ya, wujud mu. Wajah mu, tubuh mu, senyuman mu. Kamu ada di depanku saat ini.

Kamu ada di sana, kan? Kamu ada. Kamu tidak benar-benar pergi.

Tidak setelah peristiwa itu.

“K-kou…”

Canggung. Entah mengapa memanggil nama mu kali ini terasa begitu berat. Apa karena ini memang bukan hal yang seharusnya aku lakukan?

Atau karena aku tahu bahwa ketika aku memanggil nama mu saat ini, kapanpun– kau tak akan pernah menjawab lagi.

Sedang apa aku?

Menangisi sebuah hologram? 2 tahun aku mengurung diri semenjak kepergian mu, untuk “menciptakan” dirimu yang lain? Sebuah replika yang benar-benar mirip denganmu.

Hey, apa aku benar melakukan hal ini?

Orang-orang berkata aku berlebihan meratapi kepergian mu. Mereka bilang bahwa aku menyia-nyiakan kejeniusan ku hanya untuk membuat dirimu menjadi 'ada' kembali.

Mereka hanya belum mengerti.

Ya, jika melakukan ini setidaknya dapat mengobati rasa rinduku padamu meski hanya sedikit, akan aku lakukan.

Toh, kamu tiba-tiba pergi begitu saja.

“Kau tak bisa bicara, ya?”

Aku memandangi sosok hologram Kou ciptaan ku itu.
Didepan ku, sebuah tabung berwarna biru neon dengan sosok 'manusia buatan' yang mungil di dalamnya.
Ia hanya berdiri di sana sambil terus tersenyum memandangi ku.

“Kalau begitu…”

Aku membenarkan posisi dudukku. Menghadap kamera yang sudah merekam sedari tadi.

“Eum, baik. Ini adalah hologram manusia ciptaan saya. Lelaki hologram ini adalah seseorang yang penting dalam hidup saya. Ia meninggal 2 tahun yang lalu. Tujuan saya menciptakan ini adalah karena saya ingin melihatnya lagi. Bisa dikatakan, saya sekadar ingin melepas rindu. Selain itu, mungkin ini bisa jadi proyek terakhir saya setelah sekian lama berkecimpung di dunia teknologi. Mungkin, ini adalah satu-satunya karya terbaik saya sepanjang hidup."

Aku menoleh kearah hologram Kou.

“Saya juga ingin menyampaikan beberapa hal padanya."

Aku memegang tabung yang berisikan hologram manusia didalamnya.

“Ini Kou. Ia tidak bisa bicara karena tentu saya tak bisa mengatur suaranya begitu saja. Mungkin kalian berpikir untuk menggunakan suara orang lain yang mirip dengannya. Tetapi jika seperti itu maka ia bukanlah Kou. Saya tak ingin merusak citra nya."

“Kalian lihat ini?” aku menunjuk bagian sisi bawah tabung.

“Ini adalah timer. Ketika timer ini berakhir, maka hologram Kou akan menghilang, seperti timer yang dipasang pada bom. Ketika timer itu sudah mencapai waktu 0 detik, maka bom itu akan meledak- sama hal nya hologram Kou juga akan menghilang.”

Ya, aku sudah berjanji akan melakukannya. Setelah 'acara hologram Kou' ini selesai, aku akan berusaha untuk bangkit.

2 tahun yang sia-sia? Tidak. Apapun tentang Kou selalu berarti bagi ku.

Aku memangku tabung itu. Hologram Kou di dalam terus tersenyum dan memandangiku.

“Itu adalah salahku.”
Aku memulai pembicaraan.

“Aku ada di sana, tetapi aku tak mengetahui apapun. Di sana, tempat di mana Kou mengakhiri hidupnya. Aku hanya berdiri di sana. Kou sudah tidak ada ketika aku sampai."

“Kalimat 'aku ada di sana’, sejujurnya, tidak sepenuhnya benar. Aku seakan tidak pernah ada untuknya. Aku tidak ada di sana ketika ia membutuhkan pertolongan.”

Ingatan akan kenangan ku bersama Kou masuk tanpa permisi. Menghantam pikiran dan batinku.

Sakit nya seperti mengalami detik-detik terakhir kematian. Bahagia nya seperti saat-saat aku menatap kedua mata nya. Aku sangat merindukan tatapan mata itu.

Mengapa harus berakhir?

Apa aku manusia yang egois?

“Hey, akhir-akhir ini aku sering mendengarkan Back Number.”

Pandanganku menghangat memandangi tabung itu.

Mabataki, ya? Salah satu judul lagu dari mereka. Lagu yang paling sering kau dengarkan di ponsel mu."

”Mengapa kau tidak bilang pada ku? Aku juga bodoh. Seharusnya aku lebih memperhatikanmu, kan? Apa yang membuat mu enggan bercerita? Apa kau takut membuat ku khawatir? Justru jika kau tak pernah bercerita, itu membuatku khawatir.”

“Tidak apa. Biarkan aku seperti ini sebentar, ya? Sungguh aku ingin memelukmu, untuk yang terakhir kali. Tidak—, aku bahkan tidak ingin apapun dari mu menjadi yang terakhir kali.”

“Kau tahu? Aku sungguh amat berjuang. Kepergian dan kehilangan seseorang adalah dua hal yang paling memukulku lebih dari apapun. Ketika itu aku tahu, bahwa kau yang pergi— setengah dari diriku hilang. Bahkan setiap harinya masih menggerogoti tubuhku. Sakit. Hingga pada masanya aku seperti tidak merasakan apapun lagi. Aku membiarkan hal itu memakan habis tubuhku, aku tidak peduli lagi.”

“Aku benci tidur. Untuk apa? Jika nanti pun aku bangun hari akan berganti lagi. Pagi akan datang lagi. Hari yang baru sudah dimulai. Namun, lubang di hati ku tak kunjung tertutup, bahkan rasanya semakin melebar. Sebelum tidur, aku selalu berharap aku tak pernah bangun. Tak membuka kedua mata ku lagi. Itu menyakitkan. ‘Ah, sial. Aku bangun.’ adalah kalimat pertama yang aku ucapkan setiap bangun dari tidur.”

“Menjadi hidup itu melelahkan.”

“Aku memaksakan diri untuk menerima kenyataan. Bahwa segalanya bersifat sementara. Yang datang akan pergi juga. Aku selalu bertanya apakah aku siap akan hal itu? Sesuatu merenggut hal yang sudah menjadi bagian dari diriku. Sama saja seperti membunuhku secara perlahan."

“Lalu, itu terjadi begitu saja.”

“Siapa yang salah?”

“Kou.”

“Kou…”

“Tak bisakah kau menjawab ku?”

“Sekali saja.”

Aku memeluk erat tabung itu.

“Aku merindukanmu.”

“Aku juga, Nao.”

Secepat kilat pandanganku beralih pada tabung itu.

Kou, bisa bicara.

“Kou?!”

Hologram Kou yang semula hanya bisa tersenyum, kini melambaikan tangannya padaku.

“Bagaimana bisa? Aku tak memprogram mu seperti ini?!”

“Heh, untuk saat ini, aku adalah Kou. Kouji. Bukan program atau apapun itu.”

Ya Tuhan, bahkan suaranya pun sangat mirip dengannya.

“Bagaimana? Mengapa?”

“Aku kembali, Nao.”

Tidak.

Kou itu sudah pergi.

“Apa kau arwah Kou yang merasuki hologram Kou?”

“Bisa jadi begitu.”

“Apa jiwa mu tak tenang?”

“Bagaimana jiwa ku bisa tenang ketika aku melihatmu seperti ini?”

Aku hanya menunduk.

“Tapi, wah, Nao, kau benar-benar terlihat tidak baik!”

“Tentu saja tidak. Kau pergi untuk selamanya.”

Suaraku serak, bahkan hampir tak terdengar dengan jelas.

“Aku kemari untuk mengatakan dua hal padamu.”

“Apa?”

“Pertama, aku minta maaf karena tak bisa memenuhi perkataan ku sebelumnya.”

“Perkataan?”

“Malam tahun baru waktu itu.”

Nao, selamat tahun baru! Setelah ini, mari merayakan tahun baru bersama. Tahun depan, tahun depannya lagi, selalu, seterusnya, dan selamanya! Aku akan terus bersamamu.”

Menyengat sekali sampai ulu hati.

“Aku minta maaf karena tak bisa bersamamu sampai tahun baru setelahnya, tahun berikutnya, dan seterusnya, sampai sekarang, juga nanti.”

“Hm.”

“Lalu, kedua. Aku ingin mengatakan bahwa itu bukan salahmu.”

Tidak.

Tolong jangan katakan itu.

“Aku sudah berjanji untuk tetap hidup. Namun, hal itu malah semakin menyiksaku. Untuk berkedip saja rasanya menyakitkan. Apalagi untuk berdiri, berjalan, berlari, bahkan merasakan. Aku mengingkari janjiku, aku menyerah pada hidup. Aku lelah untuk peduli lagi.”

“Namun, entah mengapa, melihatmu saat itu membuatku ingin berusaha lagi. Aku mati-matian mencari keindahan dalam hal sekecil apapun untuk membantuku tetap hidup. Itu adalah dirimu. Dirimu yang antusias dengan pekerjaan mu, dirimu yang hanya diam, dirimu yang tertawa, dirimu yang terkagum-kagum ketika melihat langit, dirimu yang seperti itu, adalah hal kecil biasa yang kamu lakukan, yang membuat diriku tetap disini.”

“Hidup dengan luka kecenderungan untuk bunuh diri yang tak disadari oleh siapapun itu berat bagiku. Salahku juga karena aku tak bisa bercerita, aku tak mampu. Aku terus mengubah pikiran ku. Apakah aku ingin tetap hidup atau tidak. Pada akhirnya, aku membuang semuanya.”

“Mungkin saja aku menyesal karena telah mengakhiri hidup, ehe.”

Kou tertawa kecil.

Untuk pertama kalinya aku tidak suka melihat Kou tertawa.

“Jika reinkarnasi itu ada, maka aku akan menolak. Aku takkan hidup kembali. Aku tidak apa.”

Kou menempelkan kedua telapak tangan kecilnya dari dalam tabung itu.

“Nao.”

Aku meletakkan jari telunjuk ku pada tabung itu. Menyamakan posisinya dengan telapak tangan Kou.

“Aku mengakhiri hidupku karena keinginanku. Konyol, bukan? Tetapi, aku bersyukur karena sudah dilahirkan. Aku bersyukur bisa merasakan dan mengalami banyak hal di dunia. Aku bahagia bisa dekat denganmu."

Bisakah ia keluar dari tabung, berubah menjadi ukuran manusia pada umumnya dan peluk saja aku?

“Perasaan apapun yang aku rasakan yang membuatku mengakhiri hidupku itu bukan salah siapapun. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku tak ingin kau hidup dengan rasa sesal dan bersalah. Maaf karena aku egois, tapi, aku ingin kau terus berjalan. Bisakah kamu melakukannya?"

“Aku minta maaf, Kou.”

“Nao, aku minta maaf. Aku minta maaf karena menyerah pada hidupku. Tak memikirkan orang-orang disekitar ku serta dampak yang aku sebabkan.”

“Bisakah kau disini untuk sebentar saja?"

“Tentu.”

Aku memeluk tabung itu.

Kou merentangkan kedua tangannya.

“Aku memeluk Kou kecil, hehe.”

“Hm, hm. Aku memeluk Nao. Orang yang sangat aku cintai.”

Kalimat terakhir itu adalah hal paling menyakitkan yang pernah seseorang ucapkan padaku.

“Aku ju–

Tabung itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya.

Kou yang ada didalamnya perlahan memudar.

Timer.

Timer nya!

Setelah timer ini berakhir, aku takkan pernah bisa melihat Kou lagi untuk selamanya.

Aku mengangkat tabung itu tinggi-tinggi.

Aku dipenuhi perasaan tak karuan saat ini.

“Kou! Aku juga sangat–mencintaimu!”

Aku meneriakkan kata terakhir itu dengan lantang.
Perasaan menyesal dan bersalah, luka mendarah yang tak kunjung kering, lubang di hati ku yang terus menganga lebar, berat hati karena harus melanjutkan hidup, itu semua seakan keluar secara bersamaan seraya aku berucap bahwa aku mencintai Kou.

Namun bersamaan dengan perasaan-perasaan itu, rasa bahagia pun juga menyelimuti diriku. Aku bahagia. Kou mengisi hidupku kembali, keberadaannya akan hidup selamanya dalam diriku. Aku sangat mencintainya.

Kou melambai dan tersenyum.

Cahaya nya terlalu terang sehingga aku tak bisa melihat apapun di dalam tabung itu.

Hal yang aku ketahui setelah itu adalah– redup.

Kamar ku redup.

Tabung hologram terjatuh ke lantai begitu saja.

Aku berjalan menuju arah kamera dan mematikannya.

[Recording; off.]

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Unlisted

--

--

cokecaine
cokecaine

No responses yet

Write a response